BAB I
PENDAHULUAN
I.1 TUJUAN PRAKTIKUM
1. Sebelum melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan telah mengerti tentang apa yang dimaksud dengan alkaloid dan penggolongannya.
2. Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui identifikasi alkaloid secara kimia dan kromatografi, serta cara penyarian alkaloid.
I.2 DASAR TEORI
I.2.1 Pengertian Alkaloid
Kata alkaloid pertama kali diperkenalkan oleh W. Meisner pada awal abad 19 untuk senyawa bahan alam yang bereaksi seperti basa. Alkaloid adalah senyawa nitrogen organik, lazimnya bagian cincin heterosiklik, bersufat basa, sering bersifat optis aktif dan kebanyakan berbentuk kristal. (Tim Penyusun Penuntun Praktikum Farmakognosi. 2009).
Alkaloid dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Alkaloid sejati
Alkaloid sejati adalah senyawa yang mengandung nitrogen pada struktur heterosiklik, struktur kompleks, distribusi terbatas yang menurut beberapa ahli hanya ada pada tumbuhan. Alkaloid sejati ditemukan dalam bentuk garamnya dan dibentuk dari asam amino sebagai bahan dasar biosintesis.
2. Pseudoalkaloid
Pseudoalkaloid memiliki sifat seperti alkaloid sejati tetapi tidak diturunkan dari asam amino. Contoh : isoprenoid, terpenoid (coniin), dan alkaloid steroidal (paravallarine).
3. Protoalkaloid
Protoalkaloid adalah senyawa amin sederhana dengan nitrogen tidak berada pada cincin heterosiklik. Contoh : mescaline, betanin, dan serotonin.
(Swastini, Dewa Ayu.2007).
Fungsi alkaloid dalam tanaman saat ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa dugaan fungsi alkaloid, yaitu sebagai metabolit sekunder yang berguna melindungi tanaman dari predator, sebagai metabolit akhir yaitu limbah yang tidak berfungsi sebagai substansi simpanan atau sebagai regulator pertumbuhan. Alkaloid banyak dimanfaatkan oleh manusia karena memiliki efek farmakologi, diantaranya :
• Depresan saraf pusat, yaitu morfin dan skopolamin
• Simulan saraf pusat, yaitu strihnin dan kafein
• Simpatomimetik, yaitu efedrin
• Simpatolitik, yaitu yohimbin dan alkaloid ergot
• Parasimpatomimetik, yaitu eserin dan pilokarpin
• Antikolinergik, yaitu atoprin dan hiosiamin
• Ganglioplegik, yaitu spartein dan nikotin
• Anestesi lokal, yaitu kokain
• Mengobati fibrilasi, yaitu quinidin
• Antitumor, yaitu vinblastin dan eliptisin
• Antibakteri, yaitu berberin
• Amoebasida, yaitu emetin
Selain pada tumbuhan, alkaloid juga ditemukan pada bakteri seperti pyosianin yang dihasilkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Sementara pada fungi, terdapat alkaloid psilosin dari jamur halusinogen dan ergomin dari Claviceps sp.
Alkaloid jarang ditemukan pada gymnospermae atau pteridophyta. Alkaloid banyak ditemukan pada angiospermae (10-15%). Pada tanaman monokotil, alkaloid dapat ditemukan pada tanaman dari famili Amaryllidaceae dan Liliaceae. Pada tanaman dikotil, alkaloid dapat ditemukan pada famili Annonaceae, Apocynaceae, Fumariaceae, Lauraceae, Loganiceae, Magnoliaceae, Menispermaceae, Papaveraceae, Ranunculaceae, Rubiaceae, Rutaceae, dan Solanaceae.
Alkaloid juga ditemukan pada beberapa binatang, dalam beberapa kasus karena hewan tersebut mengkonsumsi tanaman yang mengandung alkaloid, misalnya castoramin dari lili air yang ditemukan pada berang-berang. Alkaloid sebagai produk metabolisme pada hewan seperti pada salamander atau amfibi seperti bufo, phyllobates, dan dendrobates. Alkaloid sebagai sekret dari kelenjar eksokrin banyak ditemukan pada arthropoda seperti Hymenoptera, Neuroptera, Miriapoda, dan Coleoptera.
Pada tanaman, alkaloid ditemukan dalam bentuk garam larut air seperti sitrat, malat, mekonat, tartrat, isobutirat, benzoat, atau kadang-kadang kombinasi dengan tanin. Secara mikrokimia, ditemukan bahwa alkaloid banyak ditemukan pada jaringan perifer dari batang atau akar. Alkaloid disintesis padatempat yang spesifik seperti pada akar yang sedang tumbuh, kloroplas, dan sel laktiferus.
(Swastini, Dewa Ayu.2007).
Penggolongan alkaloid berdasarkan struktur cincin atau inti yang dimiliki, yaitu :
1. Alkaloid Piridin-Piperidin
Pada proses reduksi, basa tersier piridin dikonversi menjadi basa piperidin. Alkaloid dengan struktur inti dari kelompok ini terbagi menjadi 3 sub kelompok, yaitu :
Derivat piperidin, contohnya lobelin dan lobelia
Derivat asam nikotinat, contohnya arekolin dari areca
Derivat piridin dan piperidin, contohnya nikotin dari tembakau
Contoh dari alkaloid ini adalah nikotin dari tembakau, areca dari tanaman areca catechu, dan lobelia dari tanaman lobelia inflata.
2. Alkaloid Tropan
Alkaloid tropan memiliki struktur inti bisiklik, mengandung nitrogen yaitu azabisiklo [3,2,1] oktan atau 8-metil-8-azabisiklo [3,2,1] oktan. Alkaloid tropan ditemukan pada angiospermae, yaitu famili Solanaceae (Atropa, Brugmansia, Datura, Scopolia, Physalis), Erythroxylaceae (Erythroxylem), Proteaceae (Belladena dan Darlingia) dan Convoovulaceae (Convovulus dan Calystegia). Alkaloid tropan secara sporadis ditemukan pada tanaman Bruguiera, Phyllanthus, dan Cochlearia. Karakter alkaloid yang mengandung inti tropan adalah jika direaksikan dengan asam nitrat, kemudian residunya dilarutkan dalam aseton maka akan muncul warna ungu gelap. Hal ini disebabkan karena munculnya larutan etanol dalam KOH ( Reaksi Vitalli Morin). Contoh alkaloid tropan adalah dihasilkan oleh Atropa belladone dan kokain yang dihasilkan oleh Erythroxylem coca.
3. Alkaloid Quinolin
Alkaloid yang memiliki struktur inti quinolin dihasilkan dari tanaman cinchona (kina). Alkaloid yang tergolong quinolin diantaranya quinin, quinidin, cinchonin, dan cinchonidin. Alkaloid cinchona saat ini merupakan satu-satunya kelompok alkaloid quinolin yang memiliki efek terapeutik. Cinchonin yang merupakan isomer dari cinchonidin merupakan ”alkaloid orang tua” dari semua seri alkaloid quinin. Quinin dan isomernya yaitu quinidin merupakan 6-metoksicinchonin.
4. Alkaloid Isoquinolin
Obat-obat penting yang berasal dari alkaloid isoquinolin adalah ipekak, emetin, hidrastin, sanguinaria, kurare, tubokurarin, berberin, dan opium. Meskipun alkaloid isoquinolin memiliki struktur yang kompleks tetapi biosintetsisnya sangat sederhana. Alkaloid isoquinolin merupakan hasil kondensasi derivat feniletilamin dengan derivat fenilasetaldehid dimana kedua senyawa ini merupakan derivat dari fenilalanin dan tirosin.
5. Alkaloid Indol
Obat-obat penting yang mengandung gugus indol adalah rauwolfia (reserpin), catharanthus atau vinca (vinblastin dan vincristin ), nux vomica (strihnin dan brusin), physostigma (fisostigmin), dan ergot (ergotamin dan ergonovin). Terdapat tiga kerangka monoterpenoid yang membentuk kompleks indol yaitu kerangka tipe Aspidosperma, Corynanthe, dan Iboga. Penamaan tipe kerangka ini berdasarkan tanaman yang banyak mengandung alkaloid dengan inti monoterpen.
6. Alkaloid Imidazol
Cincin imidazol (glioxalin) adalah cincin utama dari pilokarpin yang dihasilkan oleh tanaman Pilocarpus jaborandi. Pilokarpin adalah basa tersier yang mengandung gugus lakton dan imidazol. Ditinjau dari strukturnya, alkaloid ini mungkin dibentuk dari histidin atau suatu metabolit yang ekivalen.
7. Alkaloid steroid
Alkaloid steroid dikarakterisasi dengan adanya inti siklopentanofenantren. Alkaloid ini biasanya dibentuk dari kolesterol dan memiliki prekursor yang sama dengan kolesterol. Alkaloid steroid yang penting adalah veratrum.
8. Alkaloid Amin
Alkaloid dalam kelompok ini tidak memiliki atom nitrogen dalam cincin heterosiklik. Kebanyakan merupakan derivat dari feniletilamin dan asam amino umum seperti fenilalanin dan tirosin. Contoh alkaloid ini adalah efedrin dan kolkisin.
9. Basa Purin
Purin adalah inti heterosiklik yang mengandung anggota 6 cincin pirimidin yang bergabung dengan anggota 5 cincin imidazol. Purin sendiri tidak ada di alam tetapi derivatnya signifikan secara biologis. Alkaloid basa purin yang penting adalah kafein, teobromin, dan teofilin.
(Swastini, Dewa Ayu.2007).
1.2.2 Identifikasi Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi adalah cara pemisahan zat berkhasiat dan zat lain yang ada dalam sediaan, dengan jalan penyarian berfraksi, atau penyerapan, atau penukaran ion pada zat padat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh dapat digunakan untuk percobaan identifikasi atau penetapan kadar. Kromatografi yang sering digunakan adalah kromatografi kolom, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, dan kromatografi gas. Sebagai bahan penyerap selain kertas digunakan juga zat penyerap berpori, misalnya aluminiumoksida yang diaktifkan, asam silikat atau silika gel kiselgur dan harsa sintetik. Bahan tersebut dapat digunakan sebagai penyerap tunggal atau campurannya atau sebagai penyangga bahan lain. Kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis umumnya lebih berguna untuk percobaan identifikais karena cara ini khas dan mudah dilakukan untuk zat dengan jumLah sedikit. Kromatografi gas memerlikan alat yang lebih rumit, tetapi cara tersebut sangat berguan untuk percobaan identifikasi dan penetapan kadar. (Materia Medika Indonesia Jilid V, hal 523)
1. Kromatografi Kolom
Kromatografi Penyerapan
Zat penyerap ( misalnya aluminium oksida yang telah diaktifakan, silika gel, kiselgut terkalsinasi, dan kiselgur kromatografi murni ) dalam keadaan kering atau setelah dicampur dengan sejumLah cairan dimapatkan kedalam tabung kaca atau tabung kuarsa denan ukuran tertentu dan mempunyai lubang pengalir keluar dengan ukuran tertentu.
SejumLah sediaan yang diperiksa dilarutkan dalam sedikit pelarut ditambahkan pada puncak kolom dan dibiarkan mengalir dalam zat penyerap. Zat berkhasiat diserap dari larutan oleh bahan penyerap secara sempurna berupa pita sempit pada puncak kolom. Dengan mengalirkan pelarut lebih lanjut, dengan atau tanpa tekanan udara, masing-masing zat bergerak turun dengan kecepatan khas hingga terjadi pemisahan dalam kolom yang disebut kromatogram. Kecepatan bergerak zat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya daya serap zat penyerap, sifat pelarut dan suhu dari sistem komatografi.
Kromatografi Pembagian
Pada kromatografi pembagian, zat yang harus dipisahkan terbagia atas dua cairan yang tidak bercampur. Salah satu cairannya yaitu fase tidak gerak atau fase yang lebih polar biasanya diserap oleh zat penyerap padat, karena itu memberikan daerah permukaan yang sangat luas keada pelarut yang mengalir atau fase gerak atau fase yang kurang polar dan menghasilkan pemisahan yang baik yang tidak dapat dicapai pada pengocokan. Kromatografi pembagian dilakuakn dengan cara mirip dengan kromatografi penyerapan. Dalam hal tertentu lebih baik zat yang diperiksa yang telah dilarutkan dalam fase tidak bergerak ditambahkan pada sedikit zat penyerap, kemudian campuran ini dipindahkan pada puncak kolom. (Materia Medika Indonesia Jilid V, hal 523).
2. Kromatografi Kertas
Pada kromatografi kertas sebagai penyerap digunakan sehelai kertas dengan susunan serabut atau tebal yang cocok. Pemisahan dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut tunggal dengan proses yang analog dengan kromatografi penyerapan atau menggunakan dua pelarut yang tidak dapat bercampur dengan proses analaog dengan kromatografi pembagian. Pada kromatografi pembagian fase bergerak merambat perlahan-lahan melalui fase tidak bergerak yang membungkus serabut kertas atau yang membentuk kompleks dengan serabut kertas. Perbandingan jarak perambatan suatu zat terhadap jarak perambatan fase bergerak dihitung dari titik penetesan larutan zat dinyatakan sebagai Rf zat tersebut. Perbandingan jarak perambatan suatu zat dengan jarak perambatan zat pembanding kimia dinyatakan sebagai Rr. Letak bercak yang diperoleh dari zat yang dikromatografi dapat ditetapkan dengan cara berikut :
a. Pengamaatan langsung, jika tampak dengan cahaya biasa atau dengan sinar ultra violet
b. Pengamatan dengan cahaya biasa atau dengan sinar ultraviolet setelah kertas disemprot dengan pereaksi yang dapat memberikan warna pada bercak.
c. menggunakan pencacah geiger-muler atau otora diografik jika ada zat radioaktif.
d. menempatkan pita atau potongan kertas pada medium perbiakan yang telah ditanami untuk melihat hasil stimulasi atau pertumbuahan bakteri.
Alat yang digunakan berupa bejana kromatogarfi raltahan korosi , bak pelarut, batang kaca anti sifon dan kertas kromatografi. (Materia Medika Indonesia Jilid V, hal 525).
3. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan zat secara cepat dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan didasarkan pada penyerapan pembagian atau gabungannya tergantung dari jenis zat penyerap pembagian atau gabungannya tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. KLT dengan penyerap penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Harga Rf yang diperoleh pada KLT tidak tetap jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas karena itu pada lempeng yang sama disamping kromatogram dari zat yang diperiksa perlu dibuat kromatogram dari zat pembanding kimia lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran yang lebih kurang sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat digunakan untuk memperkirakan kadar. Penetapan kadar yang lebih teliti dapat digunakan dengan cara densito metri atau dengan mengambil bercak dengan hati-hati dari lempeng, kemudian disari dengan pelarut yang cocok, dan ditetapkan dengan cara spektrofotometri. Pada KLT 2 dimensi lempeng yang telah dievaluasi diputar 900 dan dievaluasi lagi umumnya menggunakan bejana lain yang berisi pelarut lain. Alat yang digunakan adalah lempeng kaca, baki lempeng, rak penyimpanan, zat penyerap, alat pembuat lapisan, bejana kromatografi, sablon, pipet mikro, alat penyemprot pereaksi, pelarut, dan lampu ultraviolet. (Materia Medika Indonesia Jilid V, hal 528).
4. Kromatografi Gas
Kromatografi gas adalah satu cara pemisahan kromatografi dimana sebagai fase bergerak digunakan gas yang disebut gas pembawa. Jika sebagai fase tidak bergerak digunakan zat padat yang disebut kromatografi gas padat dan jika sebagai fase tidak bergerak digunakan cairan disebut kromatografi gas cairan. Alat yang digunakan antara lain : tempat penyuntikan yang terletak dimuka kolom kromatografi, kolom kromatografi dari kaca atau baja tahan karat berisi bahan padat penyangga halus yang cocok dan dilapisi dengan fase tidak bergerak, detektor yang dihubungkan dengan alat pencatat. (Materia Medika Indonesia Jilid V, hal 531).
1.2.3 Alat dan Bahan.
A. Identifikasi Umum dan Kimia Alkaloida
Alat :
1. Erlenmeyer
2. Beaker glass
3. Gelas ukur
4. Batang pengaduk
5. Sendok tanduk
6. Corong pisah
7. Tabung reaksi
8. Pipet tetes
9. Penangas air
10. Kertas perkamen
11. Kertas saring
12. Penjepit kayu
Bahan :
1. Simplisia Coffea Semen, Cacica papaya Flos, Nicotiana tabacum Folium, Chinae Cortex, dan Piperis nigri Fructus.
2. HCL 2N
3. Amonia P
4. Eter P
5. Kloroform
6. Natrium Sulfat Anhidrat P
7. Mayer LP
8. Wagner LP
9. Dragendroff LP
10. Marme LP
11. Harger LP
12. Asam Sulfat P
13. Asam Nitrat P
14. Erdman LP
15. Kristal Kadminium Sulfat
16. Asam Sulfat Encer
17. Air
18. Arang jerap
B. Identifikasi Kromatografi Lapis Tipis
Alat :
1. Chamber
2. Plat KLT silica gel GF 254
3. Pipet Kapiler
4. Kertas saring
Bahan :
1. Chinae Cortex
2. Toluena-eter-dietilamina (55:35:10) v/v
3. 35 mg Kinina
4. Amoni 25 %
5. Kloroform
6. Metanol
7. Asam Sulfat pekat
B A B II
DATA PENGAMATAN HASIL PRAKTIKUM
Data pengamatan hasil praktikum terlampir.
B A B III
P E M B A H A S A N
Pada praktikum identifikasi glikosida ini, dilakukan uji identifikasi glikosida secara kimia maupun secara kromatografi.
3.1 Identifikasi Umum
Pada identifikasi umum dilakukan 2 macam percobaan, yaitu reaksi pengendapan dan reaksi warna. Namun, terlebih dahulu harus dilakukan penyiapan larutan percobaan. Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah simplisia Coffea Semen, Carica papaya Flos, Nicotiana tabacum Folium, Chinae Cortex, dan Piperis nigri Fructus. Mula-mula serbuk simplisia ditimbang sebanyak 250 mg, kemudian ditambahkan 0,5 mL HCl 2N dan 4,5 mL air. Penambahan HCl 2 N bertujuan untuk menarik alkaloid dari dalam simplisia. Alkaloid bersifat basa, sehingga dengan penambahan asam seperti HCl akan terbentuk garam. Sedangkan fungsi penambahan air adalah untuk melarutkan garam alkaloid yang terbentuk (Depkes RI, 1979). Setelah itu dilakukan pemanasan selama 2 menit di atas penangas air, kemudian didinginkan lalu disaring. Pemanasan yang dilakukan bertujuan untuk memecah ikatan antara alkaloid dengan asam klorida sehingga diperoleh alkaloid yang bukan dalam bentuk garamnya. kemudian didinginkan dan disaring lalu diambil filtratnya.
• Coffea Semen terbentuk larutan berwarna coklat muda.
• Carica papaya Flos terbentuk larutan berwarna orange.
• Nicotiana tabacum Folium terbentuk larutan berwarna coklat kemerahan.
• Chinae Cortex terbentuk larutan berwarna kuning jernih.
• Piperis nigri Fructus terbentuk larutan berwarna orange.
Filtrat kemudian dipindahkan ke gelas arloji dan ditetesi dengan 2 tetes larutan Mayer LP.
• Coffea Semen terbentuk larutan berwarna coklat muda dan tidak menggumpal.
• Carica papaya Flos terbentuk larutan berwarna kuning muda dan tidak terbentuk endapan.
• Nicotiana tabacum Folium terbentuk larutan berwarna kuning muda dan tidak terbentuk endapan .
• Chinae Cortex terbentuk larutan berwarna putih kekuningan dan terbentuk endapan.
• Piperis nigri Fructus terbentuk larutan berwarna coklat muda dan terbentuk sedikit endapan.
Berdasarkan uji di atas, diketahui bahwa Chinae Cortex mengandung alkaloid. Hal ini ditandai dengan terbentuknya endapan. Berdasarkan pustaka, simplisia Chinae Cortex mengandung alkaloid quinolin. (Buku ajar Farmakognosi. 2009).
Sisa filtrat kemudian digojog dalam corong pisah dan ditambahkan 3 mL amonia P untuk membuat suasana basa dan 5 mL campuran (3 bagian eter, yaitu ¾ x 5 ml = 3,75 mL dan 1 bagian kloroform, yaitu ¼ x 5 ml = 1,25). Penambahan dua pelarut ini bertujuan untuk melarutkan fase organik yaitu campuran klorofom dan eter serta fase non organik yaitu air. Karena kedua fase ini memiliki massa jenis yang berbeda, maka fase organik dan fase non organik pada filtrat akan terpisah, dimana fase organik filtrat berada pada bagian bawah larutan, sedangkan air sebagai fase organik berada pada bagian atas larutan. Fase organik mengandung alkaloid karena alkaloid memiliki sifat nonpolar sehingga larut dalam kloroform. Setelah itu fase organik ditambahkan Na2SO4 anhidrat yang bersifat higroskopis, sehingga mampu mengikat air yang tersisa pada filtrat. Kemudian, larutan disaring dan filtrat dibagi 2 untuk reaksi pengendapan dan reaksi warna.
a. Reaksi Pengendapan
Pada reaksi pengendapan, filtrat diuapkan terlebih dahulu di atas penangas air untuk menghilangkan atau menguapkan pelarut yang telah bercampur dengan alkaloid. Kemudian, sisa filtrat yang telah diuapkan dilarutkan dalam HCl 2N. Penambahan HCl berfungsi untuk membentuk garam alkaloid sehingga alkaloid dapat tertarik dari larutannya. Alkaloid dalam bentuk garamnya inilah yang nantinya akan bereaksi dengan reagent atau larutan pereaksi dan membentuk endapan. Adapun larutan pereaksi yang digunakan antara lain:
Gol II : Wagner LP.
Gol III : Mayer LP dan Dragendroff LP.
Gol IV : Harger LP.
Tabel 1 : Hasil Uji Reaksi Pengendapan
Nama Simplisia Larutan Pereaksi
Wagner LP Mayer LP Dragendroff LP Harger LP
Coffea Semen - - -
Carica papaya Flos - - - -
Nicotiana tabacum Folium - - -
Chinae Cortex - - - -
Piperis nigri Fructus - - -
Ket:
: Terbentuk endapan
- : Tidak terbentuk endapan
Berdasarkan percobaan reaksi pengendapan di atas, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat simplisia yang mengandung alkaloid karena tidak terbentuk endapan dari sekurang-kurangnya dua larutan pereaksi.(Depkes RI,1977). Hal ini tidak sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa Chinae Cortex mengandung alkaloid qinolin. Berdasarkan pustaka, disebutkan bahwa reaksi pengendapan dengan pereaksi golongan II jika bereaksi dengan alkaloid akan membentuk endapan. Reaksi pengendapan dengan pereaksi golongan III jika bereaksi dengan alkaloid akan membentuk senyawa adisi yang tidak larut. Reaksi pengendapan dengan pereaksi golongan IV jika bereaksi dengan alkaloid akan membentuk ikatan asam organik.(Depkes RI, 1980). Tidak terbentuknya endapan disebabkan karena rusaknya larutan pereaksi atau kesalahan dalam proses pengerjaan, misalnya pada proses penguapan dan penambahan HCl 2N.
b. Reaksi Warna
Pada reaksi ini, sebelum ditetesi dengan larutan pereaksi, sampel terlebih dahulu diupkan di atas penangas air dengan menggunakan cawan porselen. Hal ini juga bertujuan untuk menguapkan pelarut yang telah bercampur dengan alkaloid. Pada uji warna ini, digunakan 3 pereaksi, yaitu asam sulfat P, asam nitrat P, dan Erdman LP. Dari percobaan di atas, diperoleh hasil :
Tabel 2 : Hasil Uji Reaksi Warna
Nama Simplisia Larutan percobaan
asam sulfat P asam nitrat P Erdman LP
Coffea Semen Coklat jernih Kuning jernih Coklat jernih
Carica papaya Flos Coklat muda Hijau muda Tetap bening
Nicotiana tabacum Folium Agak kekuningan Putih kekuningan Tetap bening
Chinae Cortex Agak kuning Tetap bening Tetap bening
Piperis nigri Fructus Kuning Hijau kekuningan kekuningan
Dari hasil percobaan, diperoleh hasil uji negatif ( - ) pada simplisia Carica papaya Folium, Nicotiana tabacum Folium, dan Chinae Cortex karena ada yang tidak mengalami perubahan warna setelah ditetesi dengan larutan percobaan tertentu. Adapun penyimpangan hasil uji warna ini disebabkan oleh ketidaktelitian praktikan dalam penambahan reagent atau larutan percobaan pada filtrat dan mungkin juga disebabkan oleh proses penyarian filtrat yang kurang teliti.
Sedangkan diperoleh hasil uji positif (+) pada Coffea Semen dan Piperis nigri Fructus karena terjadi perubahan warna oleh penambahan ketiga larutan percobaan. Adanya perubahan warna disebabkan oleh adanya interaksi antara alkaloid yang bersifat basa dengan larutan percobaan yang bersifat asam sehingga menimbulkan reaksi asam-basa dan memicu timbulnya warna tertentu.
3.2 Identifikasi Kimia
3.2.1 Piperina
Pada identifikasi kimia terhadap serbuk piper nigrum dilakukan dengan cara 1-3 tetes sari kloroform dari serbuk piper nigrum yang diteteskan pada objek gelas kemudian ditambahkan dengan 1 tetes asam sulfat pekat terjadi warna coklat tua, karena merupakan senyawa amida basa lemah yang dapat membentuk garam dengan asam mineral kuat. Uji positif karena setelah diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran lemah (12,5 x 10) membentuk kristal kadminium sulfat, yang berupa kristal berbentuk jarum, berwarna kuning.
3.2.2 Kinina
Pada uji ini, digunakan 200 mg serbuk Chinae Cortex dimaserasi dengan 20 mL air dan 2 tetes Asam Sulfat encer selama 1 jam, diperoleh maserat berwarna coklat muda, disaring. Maserasi bertujuan menarik alkaloid untuk bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air, sedangkan penambahan Asam Sulfat encer bertujuan untuk menarik alkaloid karena alkaloid bersifat basa lemah dan bila direaksikan dengan asam maka akan terbentuk garam yang larut dalam air sehingga garam alkaloid dapat terpisah menuju fase cair dan dapat diisolasi. Setelah filtrat ditambahkan Asam Sulfat encer, didihkan dan ditambahkan arang jerap untuk mengabsorpsi pengotor, kemudian diamati pada lampu UV, terjadi flourosensi biru. Flourosensi ini terjadi karena larutan menyerap cahaya pada panjang gelombang 366 nm. Dari hasil percobaan menunjukkan hasil positif untuk kinina karena alkaloid kinina mampu menyerap gelombang cahaya unutk membentuk flourosensi berwana biru. Hal ini menandakan bahwa simplisia Chinae Cortex memiliki kandungan alkaloid kinina.
Gambar 1. Dilihat di bawah UV 254 nm
Gambar 2. Dilihat di bawah UV 366 nm
3.3 Identifikasi Alkaloid dengan Menggunakan Metode Kromatografi Lapis Tipis
Selain identifikasi alkaloid secara kimia, pemeriksaan alkaloid secara kromatografi lapis tipis juga dilakukan. Kromatografi merupakan suatu metode pemisahan secara fisiko-kimia, dimana pada dasarnya prinsip kerja dari kromatografi melawan gradient gravitasi bumi yang menyebabkan larutan dalam percobaan akan bergerak ke atas melalui fase diamnya.
Fase diam yang digunakan dalam percobaan ini yaitu Silika gel GF254, dan fase geraknya Toluena – eter – dietilamina (55 : 35 : 10). Toluen yang digunakan 2,75 ml, eter 1,75 ml, dietil amina 0,5 ml. Dimana sebagai pembanding digunakan 35 mg kinina. Silika gel GF254 artinya silika gel yang terdapat pada plat KLT yaitu gypsum dengan fluoresensi pada panjang gelombang (λ) 254 nm. Bahan yang digunakan adalah golongan kinolin yaitu serbuk Chinae cortex.
Langkah pertama, 250 mg serbuk Chinae cortex dibasahi dengan 5 tetes amonia 25% untuk menciptakan suasana basa sehingga alkaloid lebih mudah disari. Kemudian ditambahkan dengan kloroform dan digojog. Penambahan kloroform bertujuan untuk menarik zat – zat pengotor (Anonim b, 1979). Filtrat selanjutnya diuapkan sampai kering, dan ditambahkan dengan 0,5 ml metanol. Metanol dalam hal ini berfungsi sebagai pelarut. Larutan yang diperoleh ditotolkan sebanyak 5 – 10 mikroliter dengan pipet kapiler. Tujuan digunakan pipet kapiler adalah untuk memperkecil luas permukaan penotolan, sehingga elusi yang terjadi dapat lebih sempurna. Setelah pengembangan selesai, lempeng KLT dipanaskan pada suhu 1000 C selama 10 menit. Setelah pengembangan selama 1 jam, diamati di bawah sinar UV254, terbentuk spot antara lain :
Spot 1 berwarna lembayung gelap dengan jarak 1,5 cm
= = 0,1875
Spot 2 berwarna biru muda dengan jarak 3 cm
= = 0,375
Spot 3 berwarna biru tua dengan jarak 4 cm
= = 0,5
Spot 4 berwarna lembayung gelap dengan jarak 5 cm
= = 0,625
Spot 5 berwarna lembayung gelap dengan jarak 6 cm
= = 0,75
• Setelah disemprot dengan 10 mL campuran methanol asam sulfat pekat (9:1) v/v dan dipanaskan pada suhu 1050C dan dilihat pada UV366 terbentuk 8 spot, antara lain :
Spot 1 berwarna lembayung gelap dengan jarak 1 cm
= = 0,125
Spot 2 berwarna lembayung gelap dengan jarak 2 cm
= = 0,25
Spot 3 berwarna biru muda dengan jarak 2,5 cm
= = 0,313
Spot 4 berwarna ungu dengan jarak 3 cm
= = 0,375
Spot 5 berwarna biru muda dengan jarak 4 cm
= = 0,5
Spot 6 berwarna kuning dengan jarak 6 cm
= = 0,625
Spot 7 berwarna kuning dengan jarak 6 cm
= = 0,75
Spot 8 berwarna hijau dengan jarak 6,5 cm
= = 0,835
Berdasarkan percobaan pada simplisia Chinae Cortex diperoleh hasil uji positif mengandung alkaloid yang ditandai dengan adanya pemadaman fluoresensi di bawah UV254 nm. Pada UV 366 nm setelah disemprot campuran Metanol- Asam Sulfat Pekat (9:1) v/v tidak terbentuk warna biru tua yang menyala.
Gambar 3. Dilihat di bawah UV 254 nm
Gambar 4. Dilihat di bawah UV 366 nm
KESIMPULAN
1. Pada uji identifikasi umum terhadap simplisia Coffea Semen, Carica Papaya Flos, Nicotiana Tabacum Folium, Chinae Cortex, Piperis Nigri Fructus negatif mengandung alkaloid.
2. Pada reaksi pengendapan suatu serbuk simplisia mengandung alkaloid sekurang-kurangnya jika terbentuk endapan dengan dua larutan pereaksi.
3. Pada uji warna suatu simplisia mengandung alkaloid jika menghasilkan perubahan warna dengan beberapa larutan pereaksi Wagner LP, Mayer LP, Dragendroff LP, dan Harger LP, diperoleh hasil uji negatif ( - ) pada simplisia Carica Papaya Folium, Nicotiana tabacum Folium, dan Chinae Cortex. Sedangkan diperoleh hasil uji positif (+) pada Coffea Semen dan Piperis nigri Fructus.
4. Uji piperina menghasilkan reaksi positif mengandung alkaloid dengan terbentuknya kristal kadminum sulfat berupa kristal berbentuk jarum, berwarna kuning.
5. Uji kinina menunjukkan hasil positif mengandung alkaloid yang ditunjukkan dengan terbentuknya flourosensi berwana biru. Hal ini menandakan bahwa simplisia Chinae Cortex memiliki kandungan alkaloid kinina.
6. Uji identifikasi alkaloid dengan menggunanakan metode KLT pada simplisia Chinae Cortex menunjukkan hasil uji positif mengandung alkloida yang ditandai dengan adanya pemadaman fluoresensi di bwah UV 254 nm. Sedangkan pada UV 366 nm setelah disemprot campuran Metanol- Asam Sulfat Pekat (9:1) v/v tidak terbentuk warna biru tua yang menyala.
kok ga ada gambar hasilnya yaa?
BalasHapusBgmn mengetahui dari hasil KLT... NODA yg terdapat pada lenmpeng yg manakah noda dari senyawa diatas ???
BalasHapusMakasi ya, sangat membantu. Ijin untuk mengutip postingan ini ya sebagai referensi, terimakasih.
BalasHapusDapus nya mana???
BalasHapusDapusnya ko ngga ada??
BalasHapusSangat membantu tapi sayangnya gak ada dapusnya ..
BalasHapus